Arsitektur dan Lingkungan Rumah Tinggal
Arsitektur dan Lingkungan Rumah Tinggal
Koentjaraningrat (1983), “memayu-hayuning bhawana” Masyarakat Jawa merasa berkewajiban untuk selalu berupaya menjaga dan memperindah lingkungannya , baik fisik maupun spiritualnya, baik yang menyangkut pada adat, tata cara, cita-cita, ataupun nilai-nilai budaya lainnya.
Artikel dan pemikiran ini dikirimkan oleh sejawat:
Budi Fathoni via email iai.arema09@gmail.com
budifathony21@yahoo.co.id
081805194169
Klinik Arsitektur
Ketika arsitek bergerak dalam penataan lingkungan perumahan tentunya memahami karakteristik secara fisik dan non fisik pada lahan sebelum dibangun, masalah ini semata untuk menjawab konsumen. seringkali tidak memikirkan pada dampak selanjutnnya. Memang pembangunan pada hakekatnya merupakan serangkaian upaya yang terarah untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi umumnya berorientasi pada keuntungan ekonomi.
Pembangunan tidak sekedar menjadi tanggungjawab pemerintah setempat tetapi bagaimana peran arsitek sebagai perencana dan pengembang (kebetulan satu perusahaan walaupun beda nama), sehingga mampu berfikir cerdas untuk merencanakan lingkungan yang baik agar tercipta iklim yang sehat bagi masyarakatnya. Dengan demikian komunitas masyarakat yang ada bukan semata-mata sebagai obyek eksploitasi ekonomi pembangunan, tetapi merupakan subyek yang berperan aktif dalam menjaga dampak lingkungan pasca pembangunan.
Peranan masyarakat setempat akan dapat berlangsung dengan cara yang jauh lebih baik bila sejak awal terlibat musyawarah dengan perencana sebelum pembangunan dimulai, agar hasilnya sesuai dengan kebutuhan kondisi sosial-budaya masyarakat yang telah terbentuk sebelumnya sehingga tidak terjadi kesenjangan di kemudian hari. Kenyataan akhir-akhir ini beberapa kota di Indonesia selalu muncul masalah sengaja atau tidak yang sebenarnya tidak perlu terjadi sebelumnya, tetapi mengapa hasil akhirnya selalu menjadi contoh yang tidak baik.
Jika tidak mampu menyelesaikan akhirnya pemilik perusahaan melarikan dari tanggungjawab sementara waktu kebutuhan konsumen tidak dipersiapkan secara matang yang penting ada keuntungan, tuntutan pemilik rumah tinggal pasca pembangunan pada pengembang ternyata hanya manis di awal promo tetapi racun yang dirasakan bagi penghuni, justru dampaknya terhadap birokrasi lingkungan setempat akan menerima getahnya.
Mampukah nantinya masyarakat setempat menuntut kepada pengembang?, sementara waktu pengembang tersebut sudah berganti nama bahkan bubar secara hukum atau membubarkan diri yang terjadi karena telah mendapatkan keuntungan?, sedangkan kantornya telah habis masa kontraknya, bisa jadi tinggal papan nama!.
Masih menjadi topik menarikkah dibumi Indonesia tercinta ini, selalu tercabik-cabik dengan prilaku manusia yang memanfaatkan birokrasi berbelit sehingga peluang kesulitan berubah kemudahan jika ada uang berbicara karena selalu berfikir keuntungan materi tanpa melihat ketentraman yang telah tercipta hubungan antar komunitas manusia yang bermoral dan bermartabat, haruskah kita selalu menjauhkan nilai-nilai kemanusiaan dibanding nilai rupiah semata?.
Permasalahan dan kasus yang terjadi pada tersebut diatas tentunya sedini mungkin harus diselesaikan dengan langkah musyawarah yang baik dan menjadi pelajaran yang cerdas pula agar menekan seminimal mungkin terjadi kesenjangan. Masyarakat dan pengembang tentu mampu menjadi teladan agar tidak terulang kembali. Sudah miskinkah nilai-nilai moral kita yang hanya mampu menjadi penjual kewenangan dan kekuasaan?, sementara masyarakat membutuhkan kehidupan yang lebih manusiawi?.
Seringkali wujud arsitektur yang dirancang pada suatu tempat, waktu dan kebutuhan tidak sesuai prinsip-prinsip keseimbangan alam dan lingkungan masyarakatnya. Fenomena semacam ini diharapkan arsitek mampu berkomunikasi, tidak hanya mudah menggores pensil dengan perangkatnya tetapi mampu menghasilkan konsep dasar komunikatif sebagai patokan disain.
Selama kehidupan manusia masih berlangsung maka arsitektur-pun ada dalam proses perkembangannya. Hal tersebut sangat ditunjang oleh salah satu faktor yang memegang peranan penting yaitu cara mempresentasikan gambar-gambar arsitektur yang akrab dengan lingkungannya.
Bagi seorang arsitek merupakan hal yang mutlak dikuasai untuk dapat menggambarkan idea, gagasan atau imajinasinya tentang bangunan yang direncanakan. Bilamana arsitek yang bersangkutan tidak tanggap dan peka terhadap kondisi lingkungan alam, maka wujud arsitektur dengan elemen perangkat di dalamnya akan tidak berfungsi secara baik.
Pola keselarasan antara bangunan dengan lingkungannya termasuk juga dalam sistem ekologi dan infrastrukturnya. Dituntut lebih teliti terhadap proses dari tahap awal berupa analisa konsep hingga menjadi wujud akhir yang tentunya dapat memenuhi keinginan dari masyarakat sebagai pemilik dan pemakai. Kebanyakan masyarakat adalah pemikir secara verbal, sedangkan wujud akhir arsitektur yang ada selalu menggunakan bahasa visual.
Pertumbuhan arsitektur tidak dapat disamakan dengan kehidupan manusia dari mulai lahir hingga meninggal dan tidak begitu saja melahirkan ide tertentu, walaupun arsitektur sendiri menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, tetapi lebih merupakan suatu proses dalam jangka waktu tertentu untuk menghasilkan ide-ide yang terbaik.
Manusia sebagai pemakai mempunyai kebutuhan-kebutuhan bioligis, dan kepribadian, serta sifat-sifat dasar yang diekspresikan dalam lingkungannya, hal ini dikarenakan antara lingkungan dan prilaku manusia terdapat hubungan erat. Pada lingkungan yang baik tentunya akan menghasilkan prilaku yang baik pula, demikian sebaliknya. Hal ini menjadi sebab bahwa suatu lingkungan buatan harus dirancang sebaik mungkin, sehingga dapat diharapkan untuk memberikan rasa aman dan nyaman pada pemiliknya.
Sebab arsitektur pada dasarnya tidak sekedar berbicara teknis, yang pada hakekatnya bertujuan sosial, tetapi seringkali dinyatakan tanpa kompromi dengan masyarakatnya.
Bagaimanapun banyak bangunan disekitar kita yang gagal secara fungsional, sehingga akibatnya kelangsungan hidup manusia tidak tercapai secara optimal, dan terganggunya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan yang dinamis. Profesionalisme arsitek dituntut untuk memikirkan lebih pada tata lingkungan yang sama sekali berbeda dengan yang dilakukan sebagian besar orang.
Hasil akhir arsitekturnya secara tidak sadar sebenarnya bukan milik pribadi pemberi tugas atau bahkan monopoli si arsitek, tetapi menjadi milik masyarakat untuk berhak menikmati sebagai karya setempat bukan asal fotokopi dari proyek satu ke proyek yang baru, sehingga penjabaran dan perwujudan akan tata nilai sosial budaya dan ekonomis melibatkan semua pihak.