Arsitek dan Arsitektur di Malang

Artikel ditulis oleh: Haris Wibisono
Ketua IAI cabang Malang
periode 2009-2012

Sejak tahun 90 an kita telah mengenal profesi arsitek di Malang, sejak tahun 80 an kita juga telah mengenal pendidikan arsitektur di Malang, bahkan sejak zaman Ken Arok, arsitektur sebagai produk budaya juga telah ada di Malang. Sampai dimana perjalanan dan perkembangan arsitek dan arsitektur di Malang kini? Antara arsitek sebagai professional dan arsitektur sebagai karya, apakah cukup berpengaruh (signifikan) terhadap citra arsitektur yang membentuk lingkungan masyarakat kita.
Peran apakah yang telah dimainkan oleh para professional, hingga kini arsitektur masih menjadi kebutuhan sekunder yang cenderung tersier. Arsitektur yang arsitek kenal tidak seperti arsitektur yang dikenal masyarakat, yang bagaimanakah arsitektur? inikah? Atau itukah?

drawing up the plans (Doors & Windows)
drawing up the plans (Doors n Windows) by Sailing “Footprints: Real to Reel” (Ronn ashore)
Used under CC lisence

Terbuka sudah jalan bagi arsitek untuk mengangkat masalah arsitektur sebagai isu lokal disamping masalah ekonomi dan kerusakan lingkungan yang selama ini telah lebih dulu terangkat. Sudah waktunya berpihak kepada masyarakat luas dengan menggunakan ilmu arsitektur yang kita punya. Kita sadari arsitektur adalah produk kebudayaan, tetapi kita tidak dapat dengan serta merta menyerahkan urusan ini kepada para budayawan karena bagaimanapun ini adalah ladang garapan kita. Menjadi kewajiban kita untuk mengurusi profesi kita seiring dengan upaya menjaganya dari proses kepunahan atau paling tidak dari proses penggiringan arsitek sebagai “tukang gambar “ saja. Profesi berasal dari bahasa latin dari kata profesio yang artinya ikrar, sedangkan kita telah memilih profesi kita sebagai arsitek berarti telah mengikrarkan diri kita untuk menggeluti bidang arsitektur sebagai jalan hidup. Setiap pilihan pasti ada konsekuensi baik itu suka maupun duka. Arsitek itu sendiri sebagai petaruh arsitektur (stakeholder) tentunya mempunyai peranan penting di dalam pembangunan berkelanjutan. Ada yang berperan sebagai:

• arsitek personal —menggunakan Studio Arsitektur dalam perannya,
• arsitek professional –tergabung dalam Institusi / Asosiasi,
• arsitek akademisi –menjalankan peran di institusi pendidikan,
• arsitek teknis –melebur di dalam tim teknis Konsultan / Kontraktor.

Itu semua telah mewarnai pergulatan dunia arsitektur lokalitas wilayah kita, namun ini pula yang menjadikan persimpangan jalan bagi kemajuan arsitektur di malang. Entah karena berbeda peran ataukah memang karakter individu yang menimbulkan persimpangan, belum lagi kelompok sempalan yang tidak teridentifikasi hingga kini belum mencair menjadi kekuatan untuk maju bersama membangun lokalitas.

Spirit Arsitektur Arsitek di Malang semakin pudar tanpa tahu sebab akibatnya. Dibalik ketenangan (tanpa ada komunikasi) sebenarnya terdapat kegundahan yang harus dilawan sebagai upaya perbaikan spirit arsitektur.

Idiom “Lebih baik arsitektur tanpa arsitek daripada arsitek tanpa arsitektur” menyiratkan beragam makna bagi arsitek dengan perannya masing-masing. Dan dalam konteks lain menyiratkan, ber-bangunan dan ber-arsitektur itu berbeda karena arsitektur itu tidak selalu bangunan dan bangunan itu juga tidak selalu ber-arsitektur, kadang sekedar bangunan. Arsitektur mengalami penggelembungan makna yang semakin luas, menuntut arsitek lebih inovatif dan kreatif berperan tidak hanya di “meja gambar”, tetapi juga perlu dibarengi dengan upaya diplomasi di “meja perundingan” bahkan di “medan laga” kehidupan bermasyarakat. Tantangan arsitektur semakin berat namun belum bisa menyelesaikan masalah arsitek sendiri, ironis keadaannya. Semoga konteks arsitek beserta sejawatnya berubah kearah perbaikan, sedangkan konteks arsitekturnya mampu menemukan arah tanpa kalah dengan dominasi struktur yang seolah-olah menjadi satu-satunya faktor penentu arah arsitektur.
Dari Arsitektur oleh Arsitek untuk Masyarakat, belum menjadi kenyataan arsitektur. Arsitektur dipandang sebelah mata dipahami sebagai kebutuhan hidup yang tidak harus dianut. Padahal sudah cukup banyak bangunan yang didirikan yang ikut serta membentuk lingkungan binaan di Malang ini, sejauh mana peranannya didalam membentuk citra arsitektur, namun tidak banyak yang menghargai karena tidak diketahui umum atau mungkin itu baru ber-bangunan belum ber-arsitektur.

Melalui media ini mengundang para petaruh arsitektur untuk sosialisasi dan komunikasi, sebab apabila memperkenalkan diri itu wajar selama tidak mengiklankan diri itu sudah menjadi professional ethics (etika professional) arsitek internasional.

Sudah banyak karya yang dibuat para arsitek di malang, sudah banyak personal yang menekuni profesi yang cukup tua di dunia ini, namun juga masih banyak tugas yang harus diemban dan selalu terus berkembang. Namun tidak banyak yang menghargainya karena tidak diketahui oleh umum.
Profesi arsitek belum menjadi jaminan bagi masyarakat, lebih-lebih bagi arsiteknya sendiri, tantangannya malah lebih besar ketimbang profit yang diterima. Pilihannya adalah terus bergelut dengan dunia arsitektur dan tidak laris ataukah berpindah profesi lain yang belum tentu sesuai dengan hati nurani dan memang tidak punya dasar ilmu tersebut. Dari beberapa golongan arsitek tersebut diatas memiliki kecenderungan masing-masing dalam menyikapi mekanisme pasar yang telah membentuk mind set (=pemikiran) masyarakat secara umum.

Minimnya penyebarluasan informasi, publikasi dan dokumentasi arsitektur sebagai karya yang ada di malang, merupakan salah satu faktor yang menghambat kemajuan arsitektur di tingkat lokal. Kalau saja bercermin dengan arsitek skala nasional (tanpa harus melihat internasional terlebih dulu) malang masih ketinggalan jauh. Mempublikasikan karya arsitektur merupakan tradisi dalam profesi arsitek dimanapun. Kegiatan tersebut merupakan tanggungjawab para arsitek kepada masyarakat, bukan promosi dan bukan salah satu cara mengiklankan diri serta karyanya. Publikasi tersebut juga bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat.

Mengumpulkan dan menyusun data hasil karyanya masing-masing tidak terbiasa dilakukan oleh arsitek disini. Mereka umumnya tidak merasa perlu melakukan itu karena apresiasi masyarakat terhadap karya arsitektur pun masih tergolong rendah, belum lagi sikap ‘ewuh-pakewuh’ cenderung ‘sungkan’ dalam istilah jawa dipahami secara konservatif. Ada lagi sikap sesama arsitek yang tidak rela dengan progress (=kemajuan) teman sejawatnya yang telah berani melakukan lompatan-lompatan aktivitas dan pemikiran arsitekturnya, lagi-lagi persimpangan yang dibuat tidak sehat dan mematikan arsitektur itu sendiri.

Sebab merupakan konsekuensi logis apabila masyarakat berharap dari institusi keprofesian arsitek, bisa didapatkan banyak informasi tentang arsitek dan arsitektur yang ada di malang, sehingga penghargaan profesi dan karyanya bisa proporsional.

Jangankan masyarakat akan menghargai arsitektur jika arsitek sendiri tidak menghargai profesinya dan teman sejawatnya.

Sikap terbuka institusi keprofesian adalah mutlak sehingga kiprahnya di masyarakat lebih populis dan dihargai secara layak. Exclusivitas dan membangun image (=kesan) kelompok dan golongan tertentu seolah-olah dimensi politisnya lebih dominan sebaiknya dihindari, begitupun juga bagi arsitek professional yang belum mau tergabung dengan institusi tersebut dengan alasan menjaga “netralitas”. Atau ‘beliau’ yang dulunya tergabung sekarang semakin jauh terpisah, entah ter-eliminasi atau sengaja meng-eliminasi-kan dirinya dari nominasi institusi.

Artinya ada kesan lain dari para professional tersebut tentang institusi, yaitu korelasi antara ‘netralitas’ dan ‘tergabung’ di dalam institusi profesi menjadi batas persimpangan peran professional. Namun kenapa sampai muncul ‘netralitas’, apakah memang demikian keberadaan institusi professional masih jauh dari semangat tersebut.

Dan realita di lapangan memperlihatkan, bahwa kesuksesan karya arsitektur tidaklah dibatasi oleh aturan yang bersifat administrasi organisasi saja. Masyarakat saat ini dapat menikmati banyak karya arsitektur yang baik, dikerjakan dengan lebih professional dan bisa dipertanggungjawabkan terlerpas dari siapa arsiteknya ‘tergabung’ atau ‘netral’ dari institusi.

Institusi skala nasional bahkan internasional juga tidak mempermasalahkan siapa arsiteknya, terlepas dari penghargaan atas keberhasilan karya arsitektur. Kemudian bagaimana di tingkatan lokal? Menunggu apalagi yang harus dikerjakan, jika tidak sekarang!

Probo Hindarto

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!